MUTIARA
DI AWAN
Sekolah
di atas awan, itulah nama yang kusematkan pada sekolah ini. Sekolah ini memang
unik. Sekolah yang terletak di dataran tinggi, dengan suhu yang sangat dingin
menusuk tulang, karenanya jam 7 pagi di tempat ini masih terlihat gelap,
jalanan masih di tutupi embun pagi. Sedangkan
jam 3 sore, embun sudah turun pula,
dengan jarak pandang 200 sampai 300 meter. Hal ini membuat kita harus hati-hati
jika membaw kendaraan sendiri.
Di
sekolah ini tempatku berbakti, sebagai seorang guru BK aku selalu berusaha
berkarya dengan sekuat tenaga. Menjadi teman untuk anak-anak belia, teman
curhat, teman berbagi. Menjadi guru BK,
membantu mereka menghadapi masalah dan membantu menemukan solusi dari
permasalahannya. Tak jarang aku temukan satu mutiara di hati anak-anak didikku.
Anak-anak memang dilahirkan dengan berbagai karakter, mereka dididik di
keluarga dengan berbagai macam latar belakang. Maka tak aneh jika setiap anak
memiliki karakter yang unik. Hanya tak banyak yang mengerti akan hal ini. Terkadang
orang hanya menilai dari sisi luarnya saja, menjuluki anak dengan istilah anak
nakal, anak pembangkang, anak malas, dan lain-lain. Tanpa tahu siapa sebenarnya
anak ini.
Ini terjadi pada salah satu anak
didikku, sebutlah dia Kamil (bukan nama sebenarnya). Kamil adalah seorang anak
laki-laki, dia tinggal tak jauh dari sekolah. Dia seorang anak dari kedua orang
tua buruh petik daun teh, bisa dibayangkan kehidupannya sangat sederhana. Di
kelas 7 dan 8, Kamil termasuk anak yang biasa saja, tidak terlalu menonjol
dalam hal apa pun. Hingga suatu hari di kelas 3, saya memanggil Kamil ke ruang
BK karena menurut wali kelasnya sudah sering tidak masuk sekolah.
Masih teringat bagaimana dia
memasuki ruang BK dengan lemas dan tertunduk, ia mengucap salam pelan dan duduk
didepanku yang terhalang satu meja di
depannya. Kucoba sapa dengan penuh penerimaan, seperti yang biasa ku lakukan pada siswa-siswa yang
datang ke ruang BK dengan ataupun tanpa panggilan dari guru BK. Namun Kamil tak
bergeming, dia tetap menunduk meski sesekali dia menjawab dengan ucapan
singkat, ya dan tidak.
Sepuluh menit berlalu dengan posisi
menunduk, aku pun memintanya mengangkat kepalanya. “Kamil, coba lihat ibu!,”
dengan ragu diangkatnya kepalanya, kucari bola matanya. Tampak merah warna
matanya, keruh, tak sejernih mata yang pernah ku lihat 2 tahun sebelumnya, saat
ia duduk di kelas 7. Tak lama kemudian diapun menerima keberadaanku, dan
akhirnya menceritakan keadaannya, termasuk pegalamannya minum tuak. Bisa jadi memerah
matanya, akibat dari kebiasaan meminum minuman keras seperti tuak, aku tak menyelidiki.
Saat itu aku hanya ingin menjadi pendengar yang baik, mungkin sudah lama suara
Kamil tidak didengar orang tuanya, guru-guru, masyarakat yang sudah terlanjur
memberi label Kamil dengan nama-nama negatif.
Dari
curahan hatinya, aku tahu Kamil termasuk anak yang masih bisa diarahkan ke arah
yang lebih baik, meski dia mengaku sudah candu tuak, aku coba ingatkan padanya
bahwa minum tuak bukan hanya sekedar merusak badan tapi lebih pada tanggung
jawab diri sendiri sebagai muslim karena itu diharamkan agama. Ia tertunduk,
terlihat penyesalan di dadanya, ada sedikit semangat untuk berubah. Dari
ceritanya pula aku tahu, Kamil pernah menjadi juara qura’ (seni membaca
Alquran) sewaktu di SD, hal ini membuatku penasaran. Ku sodorkan Alquran
padanya, untuk dibacanya dan untuk menjawab kepenasarananku.
Ternyata... memang benar, suaranya
begitu indah. Orang lain pasti tidak akan percaya jika memang Kamil bisa
membaca Alquran dengan sangat indah. Ku puji Kamil, bahwa suaranya sangat
indah, Kuyakinkan dia, bahwa dia pasti bisa berubah dan menunjukkan perubahan
pada semua orang. Kujanjikan dia, jika ada acara keagamaan. Aku akan
merekomendasikannya untuk membaca Alquran di acara tersebut. Terlihat semangat
dia mulai tumbuh. Selesai sudah pertemuanku dengan Kamil, anak yang dilabeli
pemabuk, pemalas, pembangkang oleh semua orang. Tapi tidak bagiku, bagiku Kamil
adalah satu mutiara yang belum ditemukan oleh semua orang.
Waktu terus berlalu, tiba-tiba
wakasek kesiswaan mengumumkan akan diadakan kegiatan PHBI (Peringatan Hari
Besar Islam) Isra’ Mi’raj di sekolah. Mendengar berita itu akupun langsung
bertukar pendapat dengan bapak wakasek dan merekomendasikan Kamil tuk menjadi
pembaca Alquran di acara PHBI. Alhamdulillah... beliau menyetujui.
Tibalah waktu pelaksanaan PHBI, aku
duduk baris kedua dari tempat duduk khusus guru-guru yang berada tepat di depan
panggung acara. Dan saat pembacaan Alquran akan dilantunkan, ku dengar nama
Kamil disebut. Semua guru-guru kaget dan bertanya-tanya. “Apa?!... Kamil baca
Alquran? Tak salah?,” komentar salah satu guru yang duduk di sampingku. “Si
Kamil yang pemabuk itu baca Quran? Apa dia bisa?,” lagi-lagi komentar negatif
terdengar di sekitar tempat dudukku.
Hm..
Ya Allah mudahkan Kamil membacakan Alquran,” bisikku dalam hati. Dan
Alhamdulillah... Kamil membacakan ayat Alquran dengan indah. Sunyi, hanya
terdengar suara lantunan ayat Quran yang Kamil baca, semua guru dan teman-teman
Kamil mendengarkan sampai Kamil selesai membaca Alquran.
Setelah
selesai membaca Alquran, Kamil pun turun dari panggung, dan semua mulai riuh,
semua berkomentar, seakan tak percaya bahwa Kamil bisa membaca Alquran dengan
dangat indah. Masih ku ingat salah satu komentar guru padaku, “Bisa juga Si
Kamil baca Quran bagus, nggak nyangka.”
Acara
PHBI ini mungkin bagi sebagian besar sebagai hal biasa dan rutinitas yang
setiap tahun diadakan. Tapi bagi Kamil, ini adalah tonggak sejarah dia
membuktikan bahwa dia tidak pantas untuk dilabeli nama-nama negatif, sebagai
pembuktian bahwa dia akan berubah menjadi Kamil yang lebih baik lagi.
Alhamdulillah, sampai dia lulus, tak terdengar lagi dia mendapatkan kasus
penyimpangan perilaku remaja.
Dua
tahun berlalu, aku masih dinas di sekolah awan, sekolah yang berada di tengah
perkebunan teh, dari mulai masuk perkebunan aku selalu disapa oleh lambaian
pohon cemara yang kokoh berdiri di sepanjang jalan menuju sekolah awan. Namun
hari ini ada yang berbeda, saat masuk ruang guru. Semua guru terlihat serius
membacakan suatu hal, jiwa kepenasarananku pun membuat diri ini tak tahan untuk
menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan.
Ternyata
yang mereka bicarakan adalah Kamil. Kamil yang sudah lulus dua tahun yang lalu
itu ternyata hari ini meninggal dunia. Innalillahi wa innailaihi raaji’uun.
Ceritanya setelah lulus dari SMP dia bekerja di kota. Dia pulang memakai
kendaraan motor di sore hari menjelang malam, tentu jarak pandang sudah sangat
terbatas.
Menurut
cerita guru-guru, dia meninggal dunia karena bertabrakan dengan pengendara
motor lain yang berlawanan arah dengannya. Kamil meninggal di tempat kejadian, tubuhnya
luka-luka, motornya rusak, hanya tasnya yang utuh dengan sejumlah uang
didalamnya. Yang membuatku haru adalah
kabar bahwa saat itu Kamil sudah gajihan, ia hendak pulang dan memberikan uang
pada ayah ibunya.
Kamil...
kamu memang sudah berubah nak... Orang tuamu pasti bangga padamu... dan tentu
merasa kehilanganmu... Semoga kau mendapatkan tempat terindah di Syurga,
seindah lantunan ayat suci Alquran
yang pernah kau bacakan. Aamiin.
(Artikel ini menjadi salah satu tulisan yang dimuat dalam Buku 62 Best Practice Pembelajaran, yang terbit tahun 2019)