Wednesday, 25 September 2019

Guru BK 1


MUTIARA DI AWAN

Sekolah di atas awan, itulah nama yang kusematkan pada sekolah ini. Sekolah ini memang unik. Sekolah yang terletak di dataran tinggi, dengan suhu yang sangat dingin menusuk tulang, karenanya jam 7 pagi di tempat ini masih terlihat gelap, jalanan masih di tutupi embun pagi.  Sedangkan jam 3  sore, embun sudah turun pula, dengan jarak pandang 200 sampai 300 meter. Hal ini membuat kita harus hati-hati jika membaw kendaraan sendiri.
Di sekolah ini tempatku berbakti, sebagai seorang guru BK aku selalu berusaha berkarya dengan sekuat tenaga. Menjadi teman untuk anak-anak belia, teman curhat, teman berbagi. Menjadi  guru BK, membantu mereka menghadapi masalah dan membantu menemukan solusi dari permasalahannya. Tak jarang aku temukan satu mutiara di hati anak-anak didikku. Anak-anak memang dilahirkan dengan berbagai karakter, mereka dididik di keluarga dengan berbagai macam latar belakang. Maka tak aneh jika setiap anak memiliki karakter yang unik. Hanya tak banyak yang mengerti akan hal ini. Terkadang orang hanya menilai dari sisi luarnya saja, menjuluki anak dengan istilah anak nakal, anak pembangkang, anak malas, dan lain-lain. Tanpa tahu siapa sebenarnya anak ini.
            Ini terjadi pada salah satu anak didikku, sebutlah dia Kamil (bukan nama sebenarnya). Kamil adalah seorang anak laki-laki, dia tinggal tak jauh dari sekolah. Dia seorang anak dari kedua orang tua buruh petik daun teh, bisa dibayangkan kehidupannya sangat sederhana. Di kelas 7 dan 8, Kamil termasuk anak yang biasa saja, tidak terlalu menonjol dalam hal apa pun. Hingga suatu hari di kelas 3, saya memanggil Kamil ke ruang BK karena menurut wali kelasnya sudah sering tidak masuk sekolah.
            Masih teringat bagaimana dia memasuki ruang BK dengan lemas dan tertunduk, ia mengucap salam pelan dan duduk didepanku  yang terhalang satu meja di depannya. Kucoba sapa dengan penuh penerimaan, seperti  yang biasa ku lakukan pada siswa-siswa yang datang ke ruang BK dengan ataupun tanpa panggilan dari guru BK. Namun Kamil tak bergeming, dia tetap menunduk meski sesekali dia menjawab dengan ucapan singkat, ya dan tidak.
            Sepuluh menit berlalu dengan posisi menunduk, aku pun memintanya mengangkat kepalanya. “Kamil, coba lihat ibu!,” dengan ragu diangkatnya kepalanya, kucari bola matanya. Tampak merah warna matanya, keruh, tak sejernih mata yang pernah ku lihat 2 tahun sebelumnya, saat ia duduk di kelas 7. Tak lama kemudian diapun menerima keberadaanku, dan akhirnya menceritakan keadaannya, termasuk pegalamannya minum tuak. Bisa jadi memerah matanya, akibat dari kebiasaan meminum minuman keras seperti tuak, aku tak menyelidiki. Saat itu aku hanya ingin menjadi pendengar yang baik, mungkin sudah lama suara Kamil tidak didengar orang tuanya, guru-guru, masyarakat yang sudah terlanjur memberi label Kamil dengan nama-nama negatif.
Dari curahan hatinya, aku tahu Kamil termasuk anak yang masih bisa diarahkan ke arah yang lebih baik, meski dia mengaku sudah candu tuak, aku coba ingatkan padanya bahwa minum tuak bukan hanya sekedar merusak badan tapi lebih pada tanggung jawab diri sendiri sebagai muslim karena itu diharamkan agama. Ia tertunduk, terlihat penyesalan di dadanya, ada sedikit semangat untuk berubah. Dari ceritanya pula aku tahu, Kamil pernah menjadi juara qura’ (seni membaca Alquran) sewaktu di SD, hal ini membuatku penasaran. Ku sodorkan Alquran padanya, untuk dibacanya dan untuk menjawab kepenasarananku.
            Ternyata... memang benar, suaranya begitu indah. Orang lain pasti tidak akan percaya jika memang Kamil bisa membaca Alquran dengan sangat indah. Ku puji Kamil, bahwa suaranya sangat indah, Kuyakinkan dia, bahwa dia pasti bisa berubah dan menunjukkan perubahan pada semua orang. Kujanjikan dia, jika ada acara keagamaan. Aku akan merekomendasikannya untuk membaca Alquran di acara tersebut. Terlihat semangat dia mulai tumbuh. Selesai sudah pertemuanku dengan Kamil, anak yang dilabeli pemabuk, pemalas, pembangkang oleh semua orang. Tapi tidak bagiku, bagiku Kamil adalah satu mutiara yang belum ditemukan oleh semua orang.
            Waktu terus berlalu, tiba-tiba wakasek kesiswaan mengumumkan akan diadakan kegiatan PHBI (Peringatan Hari Besar Islam) Isra’ Mi’raj di sekolah. Mendengar berita itu akupun langsung bertukar pendapat dengan bapak wakasek dan merekomendasikan Kamil tuk menjadi pembaca Alquran di acara PHBI. Alhamdulillah... beliau menyetujui.
            Tibalah waktu pelaksanaan PHBI, aku duduk baris kedua dari tempat duduk khusus guru-guru yang berada tepat di depan panggung acara. Dan saat pembacaan Alquran akan dilantunkan, ku dengar nama Kamil disebut. Semua guru-guru kaget dan bertanya-tanya. “Apa?!... Kamil baca Alquran? Tak salah?,” komentar salah satu guru yang duduk di sampingku. “Si Kamil yang pemabuk itu baca Quran? Apa dia bisa?,” lagi-lagi komentar negatif terdengar di sekitar tempat dudukku.
Hm.. Ya Allah mudahkan Kamil membacakan Alquran,” bisikku dalam hati. Dan Alhamdulillah... Kamil membacakan ayat Alquran dengan indah. Sunyi, hanya terdengar suara lantunan ayat Quran yang Kamil baca, semua guru dan teman-teman Kamil mendengarkan sampai Kamil selesai membaca Alquran.
Setelah selesai membaca Alquran, Kamil pun turun dari panggung, dan semua mulai riuh, semua berkomentar, seakan tak percaya bahwa Kamil bisa membaca Alquran dengan dangat indah. Masih ku ingat salah satu komentar guru padaku, “Bisa juga Si Kamil baca Quran bagus, nggak nyangka.”
Acara PHBI ini mungkin bagi sebagian besar sebagai hal biasa dan rutinitas yang setiap tahun diadakan. Tapi bagi Kamil, ini adalah tonggak sejarah dia membuktikan bahwa dia tidak pantas untuk dilabeli nama-nama negatif, sebagai pembuktian bahwa dia akan berubah menjadi Kamil yang lebih baik lagi. Alhamdulillah, sampai dia lulus, tak terdengar lagi dia mendapatkan kasus penyimpangan perilaku remaja.
Dua tahun berlalu, aku masih dinas di sekolah awan, sekolah yang berada di tengah perkebunan teh, dari mulai masuk perkebunan aku selalu disapa oleh lambaian pohon cemara yang kokoh berdiri di sepanjang jalan menuju sekolah awan. Namun hari ini ada yang berbeda, saat masuk ruang guru. Semua guru terlihat serius membacakan suatu hal, jiwa kepenasarananku pun membuat diri ini tak tahan untuk menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan.
Ternyata yang mereka bicarakan adalah Kamil. Kamil yang sudah lulus dua tahun yang lalu itu ternyata hari ini meninggal dunia. Innalillahi wa innailaihi raaji’uun. Ceritanya setelah lulus dari SMP dia bekerja di kota. Dia pulang memakai kendaraan motor di sore hari menjelang malam, tentu jarak pandang sudah sangat terbatas.
Menurut cerita guru-guru, dia meninggal dunia karena bertabrakan dengan pengendara motor lain yang berlawanan arah dengannya. Kamil meninggal di tempat kejadian, tubuhnya luka-luka, motornya rusak, hanya tasnya yang utuh dengan sejumlah uang didalamnya.  Yang membuatku haru adalah kabar bahwa saat itu Kamil sudah gajihan, ia hendak pulang dan memberikan uang pada ayah ibunya.
Kamil... kamu memang sudah berubah nak... Orang tuamu pasti bangga padamu... dan tentu merasa kehilanganmu... Semoga kau mendapatkan tempat terindah di Syurga, seindah lantunan ayat suci Alquran yang pernah kau bacakan. Aamiin.


(Artikel ini menjadi salah satu tulisan yang dimuat dalam Buku 62 Best Practice Pembelajaran, yang terbit tahun 2019)


No comments:

Post a Comment

Resensi "MAHARESA"

Hai Readers apa kabar? Kembali lagi dengan saya yang mau berbagi resensi buku yang dibaca bulan Juni ini.  Ada dua novel yang udah selesai a...