Thursday, 3 October 2019

Semua siswa itu unik 1


“Kenapa sih Ibu masukin kerudung kebajuku?”

Sebut saja ia Fitri Syaqila Humaira (bukan nana sebenarnya). Anak perempuan yang cantik dengan rambut lurus panjang sepunggung ini adalah salah satu anakku yang sangat spesial. Ya, semua anak-anakku memang sangat spesial bagiku.
            Pertama kali aku mengenalnya adalah saat masa orientasi kelas 1, aku masih ingat saat itu dia sedang sakit perut, karenanya ibunya menitipkannya padaku, khawatir dia mau BAB tapi tak mau bilang sama bu gurunya. Kesan pertamaku padanya, dia anak yang penurut, dengan wajahnya yang putih, hidung mancung, mata bundar, terlihat seperti anak turunan Fakistan.
            Masa orientasi berlalu, dan ternyata Fitri termasuk anak kelas 1 yang diamanahkan padaku dan patnerku. Kegiatan belajarpun dimulai, hari, minggu, bulan, bahkan 1 semester berlalu, Fitri mengikuti program pembelajaran di sekolah bersama 30 teman-temannya. Sekilas memang terlihat normal dan biasa-biasa saja, namun ada sesuatu yang unik dalam diri Fitri.
            Selama kegiatan belajar mengajar Fitri termasuk yang moody, terkadang ia tak bisa bertahan untuk konsentrasi dengan penerangan guru atau tugas yang diberikan guru, ia seperti punya dunia lain miliknya sendiri. Namun kelebihan yang ia punya, ia tak segan untuk bertanya langsung pada kami jika ia belum mengerti dengan tugas yang diberikan, karenanya untuk hal akademis ia tidak terlalu tertinggal, walaupun kami –saya dan fatner- harus cukup bersabar dengan harus menjelaskannya kembali pada Fitri.

Saat waktu shalat tiba

Kekurangan konsentrasi Fitri juga terlihat saat program pembiasaan shalat bersama, di semester pertama dia tak pernah sekalipun shalat dengan tertib, saat itu saya membimbingnya dengan metode mengingatkan dan langsung melakukan “kontak fisik”, metode ini pula yang kami lakukan pada anak yang lainnya, dan memang cukup epektif, tapi untuk Fitri metode ini kurang mengena. Seringkali dia enggan untuk menyimpan tangannya diatas dada saat membacakan Al-Fatihah dan surat-surat pendek, hal yang pertama kali saya lakukan adalah mengingatkan “Fitri tangannya dilipat, sayang” jika tidak juga memposisikan tangannya dengan benar, saya langsung menghampirinya dan langsung memegang tangannya dengan lembut dan memposisikan sikap shalat yang seharusnya padanya. Namun ini tak bertahan lama, ia pun kembali melepas kedua tangannya bahkan menggerak-gerakkan tangannya dengan gerakkan yang ia sukai, sambil mulutnya komat-kamit seakan berbicara dengan orang lain, sedang matanya melirik keatas kanan dan kiri. Terkadang tangan kirinya ia simpan diatas dada, tapi tangan kanannya melakukan gerakan seakan menulis dipapan tulis, dengan mulut berkomat-kamit pula. Bukan hanya itu saja, disaat posisi ruku dan sujud pun ia jarang sekali bisa melakukan gerakan shalat yang seharusnya, lagi-lagi kami sebagai guru harus sabar mengingatkannya.
Satu semester berlalu, Fitri masih dengan ciri khasnya. Namun saya benar-benar ingin tahu ada apa sebenarnya dengan Fitri. Akhirnya mulai semester dua, saya merubah cara untuk mendekatinya. Satu minggu diawal pembelajaran semester dua, sikap shalat Fitri masih sama, tidak pernah tertib, bahkan tak segan keluar dari area sajadahnya untuk sekedar mencari satu benda mungil disekitarnya, untuk dimainkan saat shalat berjamaah berlangsung.
Suatu saat sikap berdiri shalat Fitri benar-benar tidak sempurna, akupun mengingatkannya dan langsung menghampirinya, memegang tangannya dan memposisikan tangannya agar diletakkan diatas dadanya. Lalu diapun ruku dengan tangan diletakkan dibawah lutut tentu posisi rukunya jadi terlalu membungkuk, akupun langsung memperbaiki posisinya sambil berkata “tangannya diatas lutut sayang”. Lalu iapun sujud, seperti biasa pula sujudnya tidak sempurna, namun ada yang berbeda. Sebelum-sebelumnya dia sering sujud dengan posisi meletakan kepala bagian kanannya (bukan dahi) diatas tempat sujud, sehingga ia bisa melihat temannya yang ada disampingnya. Kali ini dia sujud dengan meletakkan dahi di tempat sujud, tapi kedua tangannya dia gerak-gerakkan keatas dan terakhir membuka-buka kerudung bagian belakangnya. Dan refleks aku memegang kerudungnya dan menarik kerudungnya pelan agar rambutnya tidak terlihat saat sujud, tapi Fitri tidak tinggal diam. Di sujud yang kedua dia lakukan hal yang sama dan akupun bertindak yang sama pula, sambil berkata “Sayang, kerudungnya jangan dibuka-buka, aurat” Diapun berdiri untuk rakaat kedua, dan saat sujud dia lakukan hal yang sama, maka akupun memasukan kerudungnya kedalam leher bajunya hingga dia agak kesulitan untuk menarik dan membuka kerudungnya saat sujud, maka keluarlah kalimat dimulutnya, kalimat yang menjadi awal perasaan kagumku padanya “Kenapa sih Ibu masukin kerudung kebajuku?” refleks aku menjawab “karena nanti auratmu kelihatan” Tak kusangka kalimatku membuatnya menoleh kearahku “Aurat itu apa bu?” Aku tersenyum sambil menempelkan satu jariku dimulutku “Sst, ngobrolnya nanti kalau sudah selesai shalat” Ia pun tersenyum dan akhirnya shalat dengan tertib sampai selesai. Setelah selesai aku ingatkan padanya “Fitri tadi nanya apa?” Ia tersenyum kembali, senyum khas miliknya dengan melebarkan bibir dan memperlihatkan giginya. “Aurat itu apa bu?” Aku tersenyum padanya “Aurat itu yang harus kita tutupi, diwaktu shalat aurat itu benar-benar harus kita tutup, jangan sampai kelihatan biar Allah menerima shalat yang kita lakukan” “Trus kenapa harus dikerudung, laki-laki tidak.?” “Karena aurat perempuan itu seluruh tubuh kecuali ini dan ini” jawabku sambil menunjukan muka dan telapak tanganku “Trus kenapa harus pake kaos kaki, laki-laki nggak usah..” belum juga aku menjawab pertanyaannya, dia langsung tersenyum dan menjawab pertanyaannya sendiri “Oh ya aku tahu-aku tahu, kaki kan termasuk aurat perempuan” Aku pun tersenyum sambil menunjukan jari jempolku “Betul sekali, anak pintar” sambil kuusap kepalanya.
Alhamdulillah, mulai saat itu Fitri tak pernah membuka atau menarik-narik kerudungnya lagi. Sungguh aku terkesan dengan pembicaraan kami waktu itu, satu diskusi singkat tapi membuat kami berdua puas dengan jawaban dan pertanyaan kami masing-masing.
Keesokan harinya ada hal yang lucu, saat selesai shalat ia mendekatiku dan bertanya, “Bu Warni tahu gak apa aurat Fitri yang kelihatan waktu shalat tadi?” Aku terdiam dan memperlihatkan ekspresi berfikir keras lalu, “Apa ya? Bu Warni tidak tahu, memangnya apa?” Fitri tersenyum seakan gembira karena aku tak bisa menjawab pertanyaannya, “Ya kakiku dong” jawabnya sambil tersenyum pula “Kaki? … Fitri kan pakai kaus kaki” jawabku, merasa aneh. “Kan kaus kaki Fitri bolong” dia pun menunjukan kaus kaki bolongnya sambil tertawa kecil agak malu. Akupun ikut tersenyum “Fitri…Fitri ada-ada saja” jawabku, tersenyum pula.

Allah… Kenapa?

Semakin hari aku semakin memahami karakter Fitri, aku cukup bersyukur karena ia sudah tidak menarik-narik kerudungnya saat shalat, tapi bukan berarti shalat Fitri sudah sempurna. Gerakan-gerakan diluar gerakkan shalat sering ia lakukan saat shalat berjamaah berlangsung, menulis di udara, melihat dan mencari benda-benda kecil disekitarnya dan memainkannya saat shalat masih sering ia lakukan. Aku pun setiap hari berusaha selalu memperhatikannya, tentu berbagi dengan perhatianku untuk 30 anak lainnya.
Saat itu, di shalat dzuhur berjama’ah seperti biasa Fitri enggan untuk bersikap shalat yang seharusnya. Akupun mengingatkannya dengan sesabar mungkin yang aku bisa, ternyata Fitri mulai tak sabar dengan tindakanku yang terus-menerus mengingatkan sambil membetulkan posisi sikap shalatnya. Sampai saat dzikir, diapun enggan untuk bersuara “Fitri ayo berdzikir sayang!” bujukku, memotivasinya tuk mau membaca doa-doa saat shalat. Dia menatap tajam padaku, seakan menolak ajakanku dan memalingkan mukanya. “Fitri shalehah, ayo dzikir sayang” ajakku kembali. “Kanapa sih Fitri harus shalat?” tanyanya ketus sambil memandangku dengan kekesalan, kesal karena mungkin dari awal sampai akhir aku berada disampingnya dan dia tak bebas bergerak. Seperti biasa ku simpan satu jari telunjukku dibibirku “Sst, ngobrolnya nanti, sekarang dzikir dulu” Fitri pun terdiam, tidak bertanya dan juga tidak mau dzikir dan berdoa.
Setelah selesai shalat, dzikir dan doa, anak-anak dipersilahkan melipat sejadah dan menyimpannya di rak sejadah dan boleh langsung makan siang, tapi Fitri aku tahan dan mengajaknya berdoa sebelum makan dan doa penutup saja, akhirnya dia mau berdoa dan langsung melipat sejadah dan makan siang. Akupun bergegas mengambil makan siangku dan kupun duduk disamping meja Fitri, (kami sebagai walikelas memang bergilir duduk di dekat kursi anak secara bergiliran saat makan, dan aku sudah rencanakan hari itu untuk duduk dekat kursi Fitri) acara makan siang pun dimulai. “Fitri tadi mau tanya apa?” Aku memulai pembicaraan “Apa ya?” Fitri terlihat mengingat-ingat sesuatu, “Oh ya Bu, kenapa Fitri harus shalat?”
“Karena Allah memerintahkannya” jawabku singkat
“Kenapa sih Allah nyuruh-nyuruh terus, nyuruh shalat, nyuruh shaum, nyuruh….”
“Karena Allah Tuhan kita, kalau nggak ada Allah, nggak akan ada dunia ini, nggak ada langit, nggak ada matahari, Fitri juga nggak ada, karena Allah yang  bikin ini semua”
“Wah berarti Allah itu hebat dong”
“Iya, Allah itu Hebat, lebih Hebat dari Superman, lebih Hebat dari Batman, pokonya Hebat banget deh”
“Iya, ya Allah hebat. Bisa bikin langit, bisa bikin awan, bisa bikin… mmm… tapi kenapa namanya ko jelek?” tanya Fitri sambil sambil tersenyum, lebih seperti tertawa kecil karena malu. Ada perasaan terkejut dalam hatiku saat mendengar pertanyaannya, namun kuberusaha menampakkan wajah senetral mungkin dan seantusias mungkin terhadap pertanyaan-pertanyaannya. “Apa, apa?” Aku bertanya, memastikan apa yang kudengar. “Iya kenapa namanya jelek, Allah, jelek kan?” jelasnya. Hatiku beristighfar beberapa kali dan menjawab “Kata siapa jelek? Allah itu punya nama-nama yang baik ada 99 nama. Kaya Fitri, bisa dipanggil Fitri, bisa dipanggil Syaqila, bisa dipanggil Humaira. Nah Allah nama panggilannya ada 99, hebat kan? Allah bisa dipanggil Arrahman, Arrahim, Al-Malik, .seperti yang ditempel dekat white board itu.” Jawabku panjang lebar sambil menunjuk alat peraga ashmaul husna yang ditempel di sebelah kanan white board yang ada di kelas. Bisa kulihat tatapan matanya, mata yang mengatakan “Aku sekarang mengerti Bu” Diskusi kami hari itu berakhir, dan akhirnya kami membicarakan hal-hal lainnya.

Cantik dan pandai menggambar
Fitri termasuk anak yang pandai menggambar, gambar-gambarnya bagus, karena itu suatu  hari kami bertukar buku diary dan bersama-sama mengisi buku diary, dan aku menuliskan kesanku di buku diarynya kalau Fitri itu anak yang cantik dan pandai menggambar. Melihat kesanku itu, Fitripun menuliskan kesannya padaku “tulisan bu Warni bagus,” aku hanya tersenyum, ya… anak seusia kelas satu memang agak terbatas untuk berkreasi lewat kata-kata. Mereka cenderung mengikuti pola, Fitri pun demikian, ia belum memahami arti kesan, jadi dia mengikuti pola apa yang saya tulis di buku diarynya saat itu. Setidaknya aku tahu, Fitri ingin membalas rasa bahagianya ketika telah kusematkan gelar “anak yang cantik dan pandai menggambar” padanya, dengan menuliskan kesannya padaku, walaupun dengan kata-kata yang terbatas.
Semenjak ku tuliskan kesanku di buku diarynya ia jadi makin hoby menggambar bahkan salah satunya ia berikan padaku, dan langsung ku tempel di Mading Kelas. Sungguh kebahagiaan tak terkira saat aku mulai memahaminya, Ya memahami karakter Fitri, Fitri cantik dengan segudang pertanyaan dan bakat menggambarnya. Subhanallah… dibalik kekurang mampuannya untuk berkonsentrasi, Allah titipkan hati bersih untuk mengenal Tuhan-nya dan Allah titipkan kemampuan menggambarnya yang insya Allah akan terus berkembang jika Fitri terus disuport dan selalu diberi “kesempatan” untuk mengembangkan kemampuannya.

Tips menghadapi Fitri
Suatu hari saat mengantar anak berenang, aku perhatikan satu per satu anakku, salah satunya Fitri, karena seringkali Guru Olah Raganya mengingatkan dan memanggil nama Fitri. Aku memperhatikannya dari jauh, tidak ada bedanya dengan Fitri ketika di dalam kelas, ia seperti punya dunia lain, dunia miliknya sendiri. Saat Guru Olah Raganya memberi instruksi, ia malah asyik memainkan air. Baru saat Gurunya memanggilnya agak keras dan teman-temannya ikut memanggil, ia mengikuti instruksi Gurunya. Ya itulah Fitri.
Selesai berenang, Guru Olah Raganya berbincang denganku dan menanyakan tentang keadaan Fitri yang sebenarnya, dan akupun memberikan informasi tentang Fitri yang aku tahu. Dia bilang ada 3 anak didikku yang kurang konsen saat pelajaran olah raga dan salah satunya adalah Fitri, aku pun tersenyum dan berbagi cara  mengahadapi Fitri. Di kelas, jika sedang tidak konsentrasi biasanya Fitri dipegang bahunya dan ditatap matanya baru ia mengerti apa yang diinstruksikan gurunya. Tapi jika ia sudah bisa konsentrasi, hal ini tidak perlu dilakukan, hanya sayang saat-saat Fitri benar-benar konsentrasi, terbilang sangat jarang sekali, karena itu kembali sebagai guru kami benar-benar harus sabar. Guru Olah Raga itupun bertanya apakah Fitri termasuk autis atau apa? Untuk pertanyaan yang satu ini, saya tidak bisa menjawab apa-apa karena dari pihak orang tua tidak ada laporan demikian, hanya memang Fitri termasuk anak yang kemampuan konsentrasinya tak sama dengan anak-anak lainnya. Yang jelas cara memegang bahu dan menatap mata ini memang cukup epektif untuk anak yang mudah terganggu daya konsentrasinya seperti ADHD, terlepas dari apakah Fitri termasuk ADHD atau apapun namanya. Bagi saya Fitri adalah anak dengan segudang potensi yang harus dibantu agar potensinya benar-benar tereksplor dan berkembang.
Ceritaku tentang Fitri sebenarnya sangat banyak, salah satunya lagi, sewaktu dia enggan untuk shalat dhuha. Seringkali Fitri enggan tuk memulai shalat dhuha, walaupun setelah diajak akhirnya dia mau melaksanakan shalat dhuha.
Suatu hari keengganan shalat dhuhanya membuatnya diam duduk diatas kursinya, maka seperti biasa aku menghampirinya. “Ayo fit, dhuha dulu!” “Nggak mau!” jawabnya ketus.
“Lho kenapa, nak?”
“Dhuha kan sunah, jadi nggak apa-apa gak shalat dhuha juga!” Entah dari mana dia tahu kalau dhuha itu shalat sunah. Aku pun tersenyum, karena untuk seusianya dia bisa beralasan dengan istilah hukum fiqih (wajib, sunah, makruh, mubah, haram) “Mm, Fitri tahu apa itu sunah?” tanyaku, “Tahu, kalau nggak dikerjakan, nggaj berdosa,” jawabnya. Akupun tersenyum mendengar jawaban sederhananya, aku menggeleng. “Tahu nggak, sunnah itu kalau dikerjakan mendapat pahala, kalau tidak dikerjakan nggak dapet pahala. Nah, teman2 Fitri yang lagi shalat tuh semuanya dapet pahala, kalau Fitri belum dapet pahala. Fitri mau nggak punya rumah di syurga?” jelasku, diakhiri pertanyaan. “Mau” jawabnya sambil tersenyum. “Rumah disyurganya pengen warna apa?

            Ya, inilah pengalaman berkesanku dengann Fitri Syaqila Humaira. Pengalaman yang membuatku semakin mengerti bahwa satu metode pembelajaran belum tentu cocok untuk semua anak didik. Seorang Guru harus kreatif mencari dan mencoba cara yang paling epektif untuk memberikan pembelajaran yang terbaik untuk anak-anak didiknya. Seorang Guru harus senantiasa bersikap positif pada anak-anak didiknya. Aku makin mengerti kalau didunia ini tidak ada anak yang nakal, tidak anak yang pembangkang, yang ada hanyalah anak yang punya sejuta keingin tahuan, anak yang penuh dengan pertanyaan, anak yang belum mengerti dan belum faham. Dan tugasku sebagai guru untuk mengarahkan dan membimbingnya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya, membantunya mengerti dan memahami, membantunya

No comments:

Post a Comment

Resensi "MAHARESA"

Hai Readers apa kabar? Kembali lagi dengan saya yang mau berbagi resensi buku yang dibaca bulan Juni ini.  Ada dua novel yang udah selesai a...