“Kenapa sih Ibu masukin kerudung kebajuku?”
Sebut
saja ia Fitri Syaqila Humaira (bukan nana sebenarnya). Anak perempuan yang
cantik dengan rambut lurus panjang sepunggung ini adalah salah satu anakku yang
sangat spesial. Ya, semua anak-anakku memang sangat spesial bagiku.
Pertama
kali aku mengenalnya adalah saat masa orientasi kelas 1, aku masih ingat saat
itu dia sedang sakit perut, karenanya ibunya menitipkannya padaku, khawatir dia
mau BAB tapi tak mau bilang sama bu gurunya. Kesan pertamaku padanya, dia anak
yang penurut, dengan wajahnya yang putih, hidung mancung, mata bundar, terlihat
seperti anak turunan Fakistan.
Masa orientasi berlalu, dan ternyata Fitri termasuk anak
kelas 1 yang diamanahkan padaku dan patnerku. Kegiatan belajarpun dimulai, hari,
minggu, bulan, bahkan 1 semester berlalu, Fitri mengikuti program pembelajaran
di sekolah bersama 30 teman-temannya. Sekilas memang terlihat normal dan
biasa-biasa saja, namun ada sesuatu yang unik dalam diri Fitri.
Selama kegiatan belajar mengajar Fitri termasuk yang
moody, terkadang ia tak bisa bertahan untuk konsentrasi dengan penerangan guru
atau tugas yang diberikan guru, ia seperti punya dunia lain miliknya sendiri.
Namun kelebihan yang ia punya, ia tak
segan untuk bertanya langsung pada kami jika ia belum mengerti dengan tugas
yang diberikan, karenanya untuk hal akademis ia tidak terlalu tertinggal,
walaupun kami –saya dan fatner- harus cukup bersabar dengan harus
menjelaskannya kembali pada Fitri.
Saat waktu shalat tiba
Kekurangan konsentrasi Fitri juga
terlihat saat program pembiasaan shalat bersama, di semester pertama dia tak
pernah sekalipun shalat dengan tertib, saat itu saya membimbingnya dengan
metode mengingatkan dan langsung melakukan “kontak fisik”, metode ini pula yang
kami lakukan pada anak yang lainnya, dan memang cukup epektif, tapi untuk Fitri
metode ini kurang mengena. Seringkali dia enggan untuk menyimpan tangannya
diatas dada saat membacakan Al-Fatihah dan surat-surat pendek, hal yang pertama
kali saya lakukan adalah mengingatkan “Fitri tangannya dilipat, sayang” jika
tidak juga memposisikan tangannya dengan benar, saya langsung menghampirinya
dan langsung memegang tangannya dengan lembut dan memposisikan sikap shalat
yang seharusnya padanya. Namun ini tak bertahan lama, ia pun kembali melepas
kedua tangannya bahkan menggerak-gerakkan tangannya dengan gerakkan yang ia
sukai, sambil mulutnya komat-kamit seakan berbicara dengan orang lain, sedang
matanya melirik keatas kanan dan kiri. Terkadang tangan kirinya ia simpan
diatas dada, tapi tangan kanannya melakukan gerakan seakan menulis dipapan
tulis, dengan mulut berkomat-kamit pula. Bukan hanya itu saja, disaat posisi
ruku dan sujud pun ia jarang sekali bisa melakukan gerakan shalat yang
seharusnya, lagi-lagi kami sebagai guru harus sabar mengingatkannya.
Satu
semester berlalu, Fitri masih dengan ciri khasnya. Namun saya benar-benar ingin
tahu ada apa sebenarnya dengan Fitri. Akhirnya mulai semester dua, saya merubah
cara untuk mendekatinya. Satu minggu diawal pembelajaran semester dua, sikap
shalat Fitri masih sama, tidak pernah tertib, bahkan tak segan keluar dari area
sajadahnya untuk sekedar mencari satu benda mungil disekitarnya, untuk
dimainkan saat shalat berjamaah berlangsung.
Suatu
saat sikap berdiri shalat Fitri benar-benar tidak sempurna, akupun
mengingatkannya dan langsung menghampirinya, memegang tangannya dan
memposisikan tangannya agar diletakkan diatas dadanya. Lalu diapun ruku dengan
tangan diletakkan dibawah lutut tentu posisi rukunya jadi terlalu membungkuk,
akupun langsung memperbaiki posisinya sambil berkata “tangannya diatas lutut
sayang”. Lalu iapun sujud, seperti biasa pula sujudnya tidak sempurna, namun
ada yang berbeda. Sebelum-sebelumnya dia sering sujud dengan posisi meletakan
kepala bagian kanannya (bukan dahi) diatas tempat sujud, sehingga ia bisa
melihat temannya yang ada disampingnya. Kali ini dia sujud dengan meletakkan
dahi di tempat sujud, tapi kedua tangannya dia gerak-gerakkan keatas dan
terakhir membuka-buka kerudung bagian belakangnya. Dan refleks aku memegang
kerudungnya dan menarik kerudungnya pelan agar rambutnya tidak terlihat saat
sujud, tapi Fitri tidak tinggal diam. Di sujud yang kedua dia lakukan hal yang
sama dan akupun bertindak yang sama pula, sambil berkata “Sayang, kerudungnya
jangan dibuka-buka, aurat” Diapun berdiri untuk rakaat kedua, dan saat sujud
dia lakukan hal yang sama, maka akupun memasukan kerudungnya kedalam leher
bajunya hingga dia agak kesulitan untuk menarik dan membuka kerudungnya saat
sujud, maka keluarlah kalimat dimulutnya, kalimat yang menjadi awal perasaan kagumku padanya “Kenapa
sih Ibu masukin kerudung kebajuku?” refleks aku menjawab “karena nanti auratmu
kelihatan” Tak kusangka kalimatku membuatnya menoleh kearahku “Aurat itu apa
bu?” Aku tersenyum sambil menempelkan satu jariku dimulutku “Sst, ngobrolnya
nanti kalau sudah selesai shalat” Ia pun tersenyum dan akhirnya shalat dengan
tertib sampai selesai. Setelah selesai aku ingatkan padanya “Fitri tadi nanya
apa?” Ia tersenyum kembali, senyum khas miliknya dengan melebarkan bibir dan
memperlihatkan giginya. “Aurat itu apa bu?” Aku tersenyum padanya “Aurat itu
yang harus kita tutupi, diwaktu shalat aurat itu benar-benar harus kita tutup,
jangan sampai kelihatan biar Allah menerima shalat yang kita lakukan” “Trus
kenapa harus dikerudung, laki-laki tidak.?” “Karena aurat perempuan itu seluruh
tubuh kecuali ini dan ini” jawabku sambil menunjukan muka dan telapak tanganku
“Trus kenapa harus pake kaos kaki, laki-laki nggak usah..” belum juga aku
menjawab pertanyaannya, dia langsung tersenyum dan menjawab pertanyaannya
sendiri “Oh ya aku tahu-aku tahu, kaki kan termasuk aurat perempuan” Aku pun
tersenyum sambil menunjukan jari jempolku “Betul sekali, anak pintar” sambil
kuusap kepalanya.
Alhamdulillah,
mulai saat itu Fitri tak pernah membuka
atau menarik-narik kerudungnya lagi. Sungguh aku terkesan dengan
pembicaraan kami waktu itu, satu diskusi singkat tapi membuat kami berdua puas
dengan jawaban dan pertanyaan kami masing-masing.
Keesokan
harinya ada hal yang lucu, saat selesai shalat ia mendekatiku dan bertanya, “Bu
Warni tahu gak apa aurat Fitri yang kelihatan waktu shalat tadi?” Aku terdiam
dan memperlihatkan ekspresi berfikir keras lalu, “Apa ya? Bu Warni tidak tahu,
memangnya apa?” Fitri tersenyum seakan gembira karena aku tak bisa menjawab
pertanyaannya, “Ya kakiku dong” jawabnya sambil tersenyum pula “Kaki? … Fitri
kan pakai kaus kaki” jawabku, merasa aneh. “Kan kaus kaki Fitri bolong” dia pun
menunjukan kaus kaki bolongnya sambil tertawa kecil agak malu. Akupun ikut tersenyum
“Fitri…Fitri ada-ada saja” jawabku, tersenyum pula.
Allah… Kenapa?
Semakin
hari aku semakin memahami karakter Fitri, aku cukup bersyukur karena ia sudah
tidak menarik-narik kerudungnya saat shalat, tapi bukan berarti shalat Fitri
sudah sempurna. Gerakan-gerakan diluar gerakkan shalat sering ia lakukan saat
shalat berjamaah berlangsung, menulis di udara, melihat dan mencari benda-benda
kecil disekitarnya dan memainkannya saat shalat masih sering ia lakukan. Aku
pun setiap hari berusaha selalu memperhatikannya, tentu berbagi dengan
perhatianku untuk 30 anak lainnya.
Saat itu, di shalat dzuhur
berjama’ah seperti biasa Fitri enggan untuk bersikap shalat yang seharusnya.
Akupun mengingatkannya dengan sesabar mungkin yang aku bisa, ternyata Fitri
mulai tak sabar dengan tindakanku yang terus-menerus mengingatkan sambil
membetulkan posisi sikap shalatnya. Sampai saat dzikir, diapun enggan untuk
bersuara “Fitri ayo berdzikir sayang!” bujukku, memotivasinya tuk mau membaca
doa-doa saat shalat. Dia menatap tajam padaku, seakan menolak ajakanku dan
memalingkan mukanya. “Fitri shalehah, ayo dzikir sayang” ajakku kembali.
“Kanapa sih Fitri harus shalat?” tanyanya ketus sambil memandangku dengan
kekesalan, kesal karena mungkin dari awal sampai akhir aku berada disampingnya
dan dia tak bebas bergerak. Seperti biasa ku simpan satu jari telunjukku
dibibirku “Sst, ngobrolnya nanti, sekarang dzikir dulu” Fitri pun terdiam,
tidak bertanya dan juga tidak mau dzikir dan berdoa.
Setelah
selesai shalat, dzikir dan doa, anak-anak dipersilahkan melipat sejadah dan
menyimpannya di rak sejadah dan boleh langsung makan siang, tapi Fitri aku
tahan dan mengajaknya berdoa sebelum makan dan doa penutup saja, akhirnya dia
mau berdoa dan langsung melipat sejadah dan makan siang. Akupun bergegas
mengambil makan siangku dan kupun duduk disamping meja Fitri, (kami sebagai
walikelas memang bergilir duduk di dekat kursi anak secara bergiliran saat
makan, dan aku sudah rencanakan hari itu untuk duduk dekat kursi Fitri) acara
makan siang pun dimulai. “Fitri tadi mau tanya apa?” Aku memulai pembicaraan
“Apa ya?” Fitri terlihat mengingat-ingat sesuatu, “Oh ya Bu, kenapa Fitri harus
shalat?”
“Karena
Allah memerintahkannya” jawabku singkat
“Kenapa
sih Allah nyuruh-nyuruh terus, nyuruh shalat, nyuruh shaum, nyuruh….”
“Karena
Allah Tuhan kita, kalau nggak ada Allah, nggak akan ada dunia ini, nggak ada
langit, nggak ada matahari, Fitri juga nggak ada, karena Allah yang bikin ini semua”
“Wah
berarti Allah itu hebat dong”
“Iya,
Allah itu Hebat, lebih Hebat dari Superman, lebih Hebat dari Batman, pokonya
Hebat banget deh”
“Iya,
ya Allah hebat. Bisa bikin langit, bisa bikin awan, bisa bikin… mmm… tapi
kenapa namanya ko jelek?” tanya Fitri sambil sambil tersenyum, lebih seperti
tertawa kecil karena malu. Ada perasaan terkejut dalam hatiku saat mendengar
pertanyaannya, namun kuberusaha menampakkan wajah senetral mungkin dan
seantusias mungkin terhadap pertanyaan-pertanyaannya. “Apa, apa?” Aku bertanya,
memastikan apa yang kudengar. “Iya kenapa namanya jelek, Allah, jelek kan?”
jelasnya. Hatiku beristighfar beberapa kali dan menjawab “Kata siapa jelek?
Allah itu punya nama-nama yang baik ada 99 nama. Kaya Fitri, bisa dipanggil
Fitri, bisa dipanggil Syaqila, bisa dipanggil Humaira. Nah Allah nama
panggilannya ada 99, hebat kan? Allah bisa dipanggil Arrahman, Arrahim,
Al-Malik, .seperti yang ditempel dekat white board itu.” Jawabku panjang lebar
sambil menunjuk alat peraga ashmaul husna yang ditempel di sebelah kanan white
board yang ada di kelas. Bisa kulihat tatapan matanya, mata yang mengatakan
“Aku sekarang mengerti Bu” Diskusi kami hari itu berakhir, dan akhirnya kami
membicarakan hal-hal lainnya.
Cantik dan pandai menggambar
Fitri
termasuk anak yang pandai menggambar,
gambar-gambarnya bagus, karena itu suatu hari kami bertukar buku diary dan bersama-sama
mengisi buku diary, dan aku menuliskan kesanku di buku diarynya kalau Fitri itu anak yang cantik dan pandai
menggambar. Melihat kesanku itu, Fitripun menuliskan kesannya padaku
“tulisan bu Warni bagus,” aku hanya tersenyum, ya… anak seusia kelas satu
memang agak terbatas untuk berkreasi lewat kata-kata. Mereka cenderung
mengikuti pola, Fitri pun demikian, ia belum memahami arti kesan, jadi dia
mengikuti pola apa yang saya tulis di buku diarynya saat itu. Setidaknya aku
tahu, Fitri ingin membalas rasa bahagianya ketika telah kusematkan gelar “anak
yang cantik dan pandai menggambar” padanya, dengan menuliskan kesannya padaku,
walaupun dengan kata-kata yang terbatas.
Semenjak
ku tuliskan kesanku di buku diarynya ia jadi makin hoby menggambar bahkan salah
satunya ia berikan padaku, dan langsung ku tempel di Mading Kelas. Sungguh
kebahagiaan tak terkira saat aku mulai memahaminya, Ya memahami karakter Fitri,
Fitri cantik dengan segudang pertanyaan
dan bakat menggambarnya. Subhanallah… dibalik kekurang mampuannya untuk
berkonsentrasi, Allah titipkan hati bersih untuk mengenal Tuhan-nya dan Allah
titipkan kemampuan menggambarnya yang insya Allah akan terus berkembang jika
Fitri terus disuport dan selalu diberi “kesempatan” untuk mengembangkan
kemampuannya.
Tips menghadapi Fitri
Suatu hari saat mengantar anak
berenang, aku perhatikan satu per satu anakku, salah satunya Fitri, karena
seringkali Guru Olah Raganya mengingatkan dan memanggil nama Fitri. Aku
memperhatikannya dari jauh, tidak ada bedanya dengan Fitri ketika di dalam
kelas, ia seperti punya dunia lain, dunia miliknya sendiri. Saat Guru Olah
Raganya memberi instruksi, ia malah asyik memainkan air. Baru saat Gurunya
memanggilnya agak keras dan teman-temannya ikut memanggil, ia mengikuti
instruksi Gurunya. Ya itulah Fitri.
Selesai
berenang, Guru Olah Raganya berbincang denganku dan menanyakan tentang keadaan
Fitri yang sebenarnya, dan akupun memberikan informasi tentang Fitri yang aku
tahu. Dia bilang ada 3 anak didikku yang kurang konsen saat pelajaran olah raga
dan salah satunya adalah Fitri, aku pun tersenyum dan berbagi cara mengahadapi Fitri. Di kelas, jika sedang
tidak konsentrasi biasanya Fitri dipegang bahunya dan ditatap matanya baru ia
mengerti apa yang diinstruksikan gurunya. Tapi jika ia sudah bisa konsentrasi,
hal ini tidak perlu dilakukan, hanya sayang saat-saat Fitri benar-benar
konsentrasi, terbilang sangat jarang sekali, karena itu kembali sebagai guru
kami benar-benar harus sabar. Guru Olah Raga itupun bertanya apakah Fitri
termasuk autis atau apa? Untuk pertanyaan yang satu ini, saya tidak bisa
menjawab apa-apa karena dari pihak orang tua tidak ada laporan demikian, hanya
memang Fitri termasuk anak yang kemampuan konsentrasinya tak sama dengan anak-anak
lainnya. Yang jelas cara memegang bahu dan menatap mata ini memang cukup
epektif untuk anak yang mudah terganggu daya konsentrasinya seperti ADHD,
terlepas dari apakah Fitri termasuk ADHD atau apapun namanya. Bagi saya Fitri adalah anak dengan segudang potensi
yang harus dibantu agar potensinya benar-benar tereksplor dan berkembang.
Ceritaku tentang Fitri sebenarnya
sangat banyak, salah satunya lagi, sewaktu dia enggan untuk shalat dhuha.
Seringkali Fitri enggan tuk memulai shalat dhuha, walaupun setelah diajak
akhirnya dia mau melaksanakan shalat dhuha.
Suatu hari keengganan shalat
dhuhanya membuatnya diam duduk diatas kursinya, maka seperti biasa aku
menghampirinya. “Ayo fit, dhuha dulu!” “Nggak mau!” jawabnya ketus.
“Lho kenapa, nak?”
“Dhuha kan sunah, jadi nggak
apa-apa gak shalat dhuha juga!” Entah dari mana dia tahu kalau dhuha itu shalat
sunah. Aku pun tersenyum, karena untuk seusianya dia bisa beralasan dengan
istilah hukum fiqih (wajib, sunah, makruh, mubah, haram) “Mm, Fitri tahu apa
itu sunah?” tanyaku, “Tahu, kalau nggak dikerjakan, nggaj berdosa,” jawabnya.
Akupun tersenyum mendengar jawaban sederhananya, aku menggeleng. “Tahu nggak,
sunnah itu kalau dikerjakan mendapat pahala, kalau tidak dikerjakan nggak dapet
pahala. Nah, teman2 Fitri yang lagi shalat tuh semuanya dapet pahala, kalau
Fitri belum dapet pahala. Fitri mau nggak punya rumah di syurga?” jelasku,
diakhiri pertanyaan. “Mau” jawabnya sambil tersenyum. “Rumah disyurganya pengen
warna apa?
Ya, inilah
pengalaman berkesanku dengann Fitri Syaqila Humaira. Pengalaman yang membuatku
semakin mengerti bahwa satu metode pembelajaran belum tentu cocok untuk semua
anak didik. Seorang Guru harus kreatif mencari dan mencoba cara yang paling
epektif untuk memberikan pembelajaran yang terbaik untuk anak-anak didiknya.
Seorang Guru harus senantiasa bersikap positif pada anak-anak didiknya. Aku
makin mengerti kalau didunia ini tidak ada anak yang nakal, tidak anak yang
pembangkang, yang ada hanyalah anak yang punya sejuta keingin tahuan, anak yang
penuh dengan pertanyaan, anak yang belum mengerti dan belum faham. Dan tugasku
sebagai guru untuk mengarahkan dan membimbingnya menemukan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaannya, membantunya mengerti dan memahami, membantunya